Tuesday 10 November 2015
Berlangganan

Misteri ukiran wanita pada lidah Api Monas, yang hanya bisa dilihat dari Istana Negara

Sesudah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta, Presiden Soekarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di Paris. Saat itu Soekarno ingin membangun sebuah monumen di lapangan tepat depan Istana Merdeka.

Pembangunan monumen bertujuan mengenang perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945. Dengan adanya monumen itu, Soekarno berharap bisa terus membangkitkan semangat patriotisme generasi yang akan datang.



Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Saat itu terbisa 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan bisa bertahan selama berabad-abad.

Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 pedan yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban bagi menunjukkan rancangannya kepada Presiden Soekarno. Tapi saat itu Bung Karno kurang sreg dengan rancangan Silaban. Soekarno berharap monumen itu berbentuk lingga dan yoni.

Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban lalu menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik.

Soekarno yang tidak suka menunggu lalu meminta arsitek RM Soedarsono bagi melanjutkan rancangan Silaban. Lalu Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden RI Nomor 214 Tahun 1959 tanggal 30 Agustus 1959 tentang Pembentukan Panitia Monumen Nasional yang diketuai oleh Kolonel Umar Wirahadikusumah, Komandan KMKB Jakarta Raya.

Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan RM Soedarsono, dan mulai dibangun pada 17 Agustus 1961.

Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir Rooseno. Pada tanggal 12 Juli 1975, Monas resmi dibuka bagi umum. Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.

Sebuah elevator (lift) juga dibangun pada pintu sisi selatan bagi membawa pengunjung menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut.

Pelataran puncak Monas bisa menampung sekitar 50 orang, dan terbisa teropong bagi melihat panorama Jakarta lebih dekat. Pada sekeliling badan elevator terbisa tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung bisa menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. bahkan juga bila kondisi cuaca cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil.

Di puncak Monas terbisa cawan yang menopang nyala lampu perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram, akan tetapi bagi menyambut perayaan setengah abad (50 tahun) kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran emas.

Puncak tugu berupa ‘Api Nan Tak Kunjung Padam’ yang bermakna agar Bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa.

Namun puncak Monas itu bukan sekadar berbentuk lidah api biasa. Konon lidah api di puncak Monas berikut menggambarkan sesosok perempuan yang sedang duduk bersimpuh dengan gerai rambutnya yang panjang. Rambut atasnya disimpul seperti sanggul kecil. Duduk menghadap langsung ke Istana Negara.


Namun sosok wanita di lidah api Monas berikut hanya bisa dilihat dari sisi sebelah kiri Monas atau di Jalan Medan Merdeka Barat sebelah utara, dekat dengan Istana Presiden. Patung sesosok perempuan itu sengaja dibuat dengan sebaik-baiknya agar orang yang melihatnya tidak mengetahuinya secara langsung.

Banyak yang menganggap bahwa sosok wanita dalam lidah api monas adalah salah satu ide Soekarno. Sosok wanita dalam lidah api Monas itu sering dipandangi Soekarno dari Istana Merdeka. Hingga kini sosok wanita di puncak Monas itu pun masih misterius. Siapa sebenarnya wanita yang diukir dalam puncak Monas itu?